SUARA INDONESIA YOGYAKARTA

Polemik Masa Jabatan Ketiga Trump: Tantangan Terhadap Amandemen Ke-22

Aditya Mulawarman - 15 June 2024 | 21:06 - Dibaca 1.81k kali
Peristiwa Polemik Masa Jabatan Ketiga Trump: Tantangan Terhadap Amandemen Ke-22
Polemik Masa Jabatan Ketiga Trump/(instagram/@realdonaldtrump)

SUARA INDONESIA, JAKARTA - Dalam sejarah politik Amerika Serikat, batasan masa jabatan presiden adalah topik yang sering dibahas, terutama dalam konteks peraturan yang membatasi presiden untuk menjabat maksimal dua periode.

Namun, pernyataan kontroversial Donald Trump baru-baru ini mengenai kemungkinan masa jabatan ketiga telah memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan politisi.

Amandemen ke-22 Konstitusi AS, yang disahkan pada tahun 1951, secara tegas membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode.

Amandemen ini adalah reaksi langsung terhadap Franklin D. Roosevelt, satu-satunya presiden AS yang menjabat lebih dari dua periode.

Roosevelt terpilih untuk empat periode berturut-turut dan menjabat hingga kematiannya pada tahun 1945.

Pentingnya amandemen ini tidak hanya terkait dengan pencegahan kekuasaan yang terlalu lama dipegang oleh satu individu, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan dan rotasi kepemimpinan yang sehat di negara tersebut.

Sebelumnya, tradisi dua periode telah dipegang teguh oleh presiden pertama AS, George Washington, yang menolak untuk mencalonkan diri untuk periode ketiga meskipun didesak oleh banyak pihak.

Selama kampanye untuk masa jabatan keduanya, Donald Trump mengajukan pertanyaan retoris kepada kelompok lobi senjata api terbesar di AS tentang kemungkinan dirinya menjabat tiga kali.

Ini menimbulkan banyak spekulasi dan diskusi tentang apakah hal tersebut bisa menjadi kenyataan.

Namun, untuk mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, Amandemen ke-22 harus dicabut, yang memerlukan proses legislatif yang sangat sulit dan dukungan luas dari negara bagian.

Pada kenyataannya, pencabutan amandemen konstitusi memerlukan dua pertiga suara di kedua majelis Kongres AS, yaitu DPR dan Senat, dan kemudian harus diratifikasi oleh setidaknya 38 dari 50 negara bagian.

Alternatif lain adalah menggelar Konvensi Konstitusi yang diinisiasi oleh dua pertiga negara bagian, tetapi ini juga harus mendapatkan ratifikasi dari 38 negara bagian.

Proses ini sangat kompleks dan membutuhkan konsensus nasional yang besar.

Pernyataan Trump tentang masa jabatan ketiga tentu saja menimbulkan kekhawatiran di kalangan banyak orang, terutama mereka yang mendukung tradisi politik yang mapan dan ketentuan hukum yang sudah ada.

Selain itu, Trump saat ini menghadapi berbagai masalah hukum, yang semakin mempersulit kemungkinan pencalonannya untuk masa jabatan ketiga.

Para ahli hukum, seperti Preveen Fernandes dari Constitutional Accountability Center, menekankan bahwa amandemen ini adalah salah satu penegasan terkuat dalam konstitusi tentang pembatasan kekuasaan eksekutif.

Bahkan jika ada dukungan untuk perubahan ini, proses legislasi yang panjang dan memerlukan konsensus luas membuatnya tampak sangat tidak mungkin.

Meskipun Donald Trump mungkin bermimpi tentang masa jabatan ketiga, realitas hukum dan politik AS saat ini membuat hal tersebut sangat tidak mungkin terjadi.

Pembatasan dua periode adalah bagian penting dari sistem demokrasi Amerika yang dirancang untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.

Dengan latar belakang hukum yang kuat dan dukungan dari tradisi politik yang sudah ada, tampaknya batasan dua periode akan terus dipertahankan di masa mendatang.

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Aditya Mulawarman
Editor : Imam Hairon

Share:

Komentar & Reaksi

Berita Terbaru Lainnya